Rabu, 02 Mei 2012

Konvergensi IFRS Memberatkan Perusahaan Asuransi?

Dewan Standar Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) menggelar pemaparan publik atau public hearing draft standar akuntansi baru yang berkaitan dengan industri asuransi. Public hearing dilaksanakan di Jakarta, 25 Januari 2011 dan dihadiri kurang lebih oleh 250 peserta dari industry asuransi, akuntan publik, profesi aktuari, akademisi dan juga perwakilan-perwakilan perusahaan lainnya. 
Rangkaian public hearing ini merupakan proses konvergensi IFRS yang dilakukan oleh IAI dan ditargetkan selesai pada tahun 2012. ED PSAK 62 mengadopsi standar akuntansi internasional IFRS 4 yang bersifat prinsip atau principle based. Dengan mengadopsi IFRS 4 maka standar akuntansi Indonesia yang mengatur perusahaan asuransi yakni PSAK 28 dan PSAK 36 direvisi agar tidak bertentangan dengan IFRS 4. Revisi untuk PSAK 28 dan PSAK 36 banyak menghapus paragraf-paragraf yang bersifat rule based serupa dengan aturan-aturang yang kaku.

Ludovicus Sensi, anggota DSAK-IAI yang memberikan pemaparan standar akuntansi asuransi mendapatkan banyak komentar mengenai kesiapan industri asuransi dan profesi aktuaris dalam menerapkan standar-standar baru ini pada tahun 2012. “Waktunya sangat sempit apabila diberlakukan pada tahun 2012. Dan apakah para pelaku dan profesi aktuaris siap karena standar ini banyak menuntut penggunaan professional judgement” demikian komentar salah satu peserta public hearing dari perusahaan asuransi yang cukup besar di Indonesia.

“IFRS 4 ini sedang diubah di dewan standar akuntansi internasional. Kita memang pernah bimbang apakah kita mengadopsi IFRS 4 yang saat ini berlaku atau tunggu sampai revisi IFRS 4 nanti dikeluarkan. Namun apabila kita menunggu lebih lama, kesenjangan antara standar akuntansi lokal dan standar akuntansi internasional akan semakin lebar. Sehingga Dewan memutuskan untuk tidak menunda adopsi IFRS 4” Ludovicus Sensi memberikan penjelasan. Ludovicus Sensi juga menambahkan bahwa diskusi mengenai perubahan standar akuntansi ini sudah pernah didiskusikan oleh pihak regulator Bapepam LK dan juga oleh asosiasi industri asuransi selama beberapa bulan terakhir.

Lebih lanjut Rosita Uli Sinaga, Ketua DSAK-IAI yang memimpin jalannya public hearing pada hari itu juga menambahkan bahwa konvergensi IFRS ini sudah terlebih dahulu memberikan dampak besar terhadap industri perbankan tahun lalu dengan memberlakukan PSAK 50 dan PSAK 55 mengenai instrumen keuangan. “kita semua memahami bagaimana beratnya industri perbankan dalam menerapkan PSAK 50 dan PSAK 55. Kalau Industri asuransi tidak mengadopsi IFRS maka akan terbelakang dibandingkan dengan industri keuangan lainnya di Indonesia. Tentunya kita tidak ingin hal ini terjadi” komentar Rosita.

Rencana DSAK untuk mencabut PSAK 51 Akuntansi Kuasi-Reorganisasi juga menuai keberatan. Dudi Kurniawan, praktisi akuntan publik menyatakan bahwa PSAK 51 masih dibutuhkan di Indonesia dan bermanfaat untuk perusahaan yang membutuhkan “fresh-start” accounting setelah rugi akibat krisis moneter beberapa waktu lalu. “Apabila memang tidak bertentangan dengan IFRS sebaiknya PSAK 51 tetap dipertahankan.”

DSAK memutuskan untuk menghapus PSAK 51 karena standar ini merupakan adopsi dari standar akuntansi amerika serikat dan tidak ada standar akuntansi tentang kuasi reorganisasi dalam IFRS.      “Indonesia sudah menjadi sorotan dunia karena target konvergensi IFRS sudah pernah mundur dari target sebelumnya tahun 2008. DSAK harus banyak mengambil keputusan yang sulit seperti misalnya pencabutan PSAK 51 ini. Oleh sebab itulah kami meminta masukan masyarakat dalam kegiatan public hearing ini. Mohon masukan maupun keberatan dapat dikirim ke DSAK agar membantu kami dalam mengambil keputusan” pungkas Rosita Uli Sinaga.

Komentar : 
Di dalam akuntansi keuangan dikenal adanya standar yang harus dipatuhi dalam pembuatan laporan keuangan. Hal ini akan menjadi masalah bagi mereka untuk memahami laporan keuangan yang ada. IFRS dan IAS menjadi acuan atau diadopsi langsung oleh para penyusun standar di tiap-tiap negara yang ingin merevisi standar mereka agar sesuai dengan standar yang berlaku secaara internasional. konvergensi dalam standar akuntansi dan dalam konteks standar internasional nantinya ditujukan hanya akan ada satu standar yang kemudian berlaku menggantikan standar yang tadinya dibuat dan dipakai.

Sumber :
http://www.iaiglobal.or.id/berita/detail.php?catid=&id=209


Rabu, 28 Maret 2012

Kendala yang ada pada IFRS

Kendala yang ada pada IFRS

IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Standar Akuntansi Internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasioanal (IFAC).

Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang dahulu bernama Komisi Standar Akuntansi Internasional (AISC), merupakan lembaga independen untuk menyusun standar akuntansi. Organisasi ini memiliki tujuan mengembangkan dan mendorong penggunaan standar akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat dipahami dan dapat diperbandingkan.

Pada tahun 1973 para akuntan dunia mempelopori pendirian Internasional Accounting Standarts Commitee (IASC) yang menjadi cikal bakal perkembangan sistem akuntansi dunia yang universal. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Belanda, dan Inggris adalah negara – negara yang mempelopori berdirinya IASC. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, pada tahun 1982 International Financial Accounting Standard (IFAC) mendorong IASC sebagai standar akuntansi global, hal yang sama dilakukan Federasi Akuntan Eropa pada 1989. Sebelumnya Pada kongres profesi akuntan dunia di Sidney pada tahun 1972, Perwakilan IASG bertemu kembali untuk membahas proposal pembentukan International Accounting Standard Committee (IASC). Hingga kemudian sepuluh organisasi profesional yang berasal dari Belanda, Kanada, Australia, Meksiko, Jepang, Perancis, Selandia Baru, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat melakukan negosiasi atas ide pembentukan Internasional Accounting Standard Committee (IASC) pada tahun 1973. Sejak itu, lahirlah IASC dengan International Accounting Standard (IAS) sebagai produknya.

Tetapi usaha – usaha yang dilakukan oleh IASB guna menjadikan Internasional Financial Reporting Standart (IFRS) sebagai global accounting standart menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah tidak semua negara siap menjadikan IFRS sebagai ”The One Only Financial Reporting Standarts” di negara tersebut. Guna mensukseskan tujuan awal dari IFRS, IASB merangkul berbagai organisasi tingkat tinggi dunia seperti Persekutuan Bangsa – Bangsa, World Bank, World Trade Organization,dan berbagai lembaga tinggi lainnya.

Harmonisasi atas suatu standar akuntansi dan pelaporan keuangan dianggap sebagai sesuatu hal yang mendesak, jika sebuah negara sukses dalam melakukan harmonisasi standar akuntansi yang mereka miliki ke dalam IFRS maka manfaat utama yang akan mereka dapat adalah adanya pemahaman yang lebih baik dan menyeluruh atas laporan keuangan yang berasal dari berbagai negara. Hal ini tentunya akan memudahkan perusahaan dalam melakukan kegiatanya baik dalam hal barang dan jasa. Harmonisasi dan standarisasi pelaporan keuangan juga diyakini oleh banyak pihak memberikan efisiensi dalam penyusunan laporan keuangan yang menghabiskan tidak sedikit dana dan sumber daya setiap tahunnya sebagaimana yang dialami oleh perusahaan – perusahaan multinasional dan multiregional yang sahamnya diperdagangkan secara umum. Bahkan Amerika Serikat sendiri hingga saat ini masih berpedoman kepada US-GAAP seperti yang selama ini mereka gunakan. (Panji Ilham, 2010).

Menurut Dr. Fuad Rahmany yang merupakan ketua bapepam dan lembaga Keuangan, tujuan konvergensi IFRS adalah agar laporan keuangan berdasarkan PSAK tidak memerlukan rekonsiliasi dengan laporan keuangan berdasarkan IFRS dan kalaupun ada diupayakan hanya relatif sedikit sehingga pada akhirnya laporan auditor menyebut kesesuaian dengan IFRS, dengan demikian diharapkan meningkatkan kegiatan investasi secara global, memperkecil biaya modal (cost of capital) serta lebih meningkatkan transparansi perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan. (www.okezone.com tanggal 28 Mei 2009).

Penerapan IFRS sebagai standar akuntansi global tentu membutuhkan keseriusan tidak hanya dari pihak manajemen perusahaan, tetapi juga dari pihak pemerintah sebagai regulator (IAI) dan institusi pendidikan sebagai pihak yang menghasilkan tenaga – tenaga akuntansi. Penerapan IFRS yang tidak serius akan menghasilkan permasalahan yang fundamental, hal ini diakibatkan karena tidak siapnya administrasi dan sumber daya manusianya. Sebagai gambaran, pada saat perusahaan – perusahaan menerapkan pernyataan standar akuntansi keuangan yang baru yang berasal dari IFRS, sering kali ditemukan banyak perusahaan yang tidak siap dan tidak mengantisipasi akibat yang timbul dari penerapan IFRS tersebut.

IFRS yang menggunakan basis peniliaian fair value, ternyata dapat menimbulkan masalah tersendiri. Penggunaan fair value dianggap memberikan informasi yang relevan dan reliable dalam pengungkapannya. Masalah yang timbul dikarenakan tidak adanya petunjuk yang seragam dalam menentukan fair value dan hal ini juga menjelaskan bahwa IFRS tidak memiliki konsep yang jelas atas fair value. Namun pada dasarnya, IFRS dalam menggunakan fair value sebagai dasar penilaian suatu aset mengutamakan penggunaan harga pasar atau level 1 dalam hirarki fair value. (Marisi P. Purba, 2010).

Sumber :

Panji, Ilham (2010) : Penerapan International Financial Reporting Standarts (IFRS) Mengenai Investment Property Pengaruhnya Terhadap Laba Perusahaan. Dikutip dari Library Online Unikom.ac.id

Purba, Marisi P. (2010). International Financial Reporting Standards Konvergensidan Kendala Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Choi et al., 1999 dalam Intan Immanuela, puslit2.petra.ac.id).